(Terbit Singgalang 11 Januari 2010)
Bencana yang terjadi di Sumatera Barat 30 september 2009 akibat gempa yang berkekuatan 7,9 SR mendapat respon besar mulai dari Pusat, Daerah bahkan respon dari pihak Internasional, masyarakat Sumatera Barat yang membutuhkan bantuan khusus saat itu mendapatkan bantuan khusus dari pusat bahkan Internasional baik itu bantuan jasa, logistik, dan alat berat. Seiring dengan itu tak bisa di nafikan pasca bencana ini meninggalkan persoalan tersendiri pada masyarakat Sumatera Barat, permasalahan yang paling penting adalah mengakibatkan lunturnya nilai-nilai yang selama ini kental di diri masyarakat Sumatera Barat.
Potensi untuk lunturnya nilai-nilai budaya di Sumatera Barat adalah mungkin, jika bantuan yang diberikan oleh lebih besar orang luar (pihak eksternal) tidak terkelola dengan baik dan bernilai guna. Betapa tidak, pemberian bantuan yang datang secara bertubi-tubi bisa saja membuat masyarakat manja kendatipun bantuan itu sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat saat ini, seperti bantuan yang berupa materil, membuat masyarakat terlalu menunggu dan berefek menimbulkan sikap malas dalam mencari kebutuhan-kebutuhan hidupnya sehari-hari. Jika kita lihat kelapangan, banyak sawah yang tidak terairi (mulai menanam) di Kab. Padang Pariaman sebagai penerima manfaat terbesar dalam penerimaan bantuan terbesar saat ini. Pengairan yang putus akibat gempa sesungguhnya jika mau bisa diperbaiki secara gotongroyong mengandalkan kearifan lokal.
Tidak itu saja, pemberian bantuan yang lebih besar ke sasaran rumah berlabel rusak berat menimbulkan sikap saling curiga mencurigai, saling iri dan dengki di golongan masyarakat, padahal selama ini masyarakat Sumatera Barat menganut nilai-nilai gotongroyong yang sangat tinggi.
Penggulangan pasca bencana jika kita lihat dari tahapannya yaitu tahapan emergency (tanggap darurat), tahap recovery (pemulihan dini), tahap rekonstruksi, dan tahap pertumbuhan ekonomi. Dari tahapan itu berdasarkan keputusan gubernur sumbar nomor 360-459-2009 tanggal 31 oktober 2009 tentang penghentian pelaksanaan darurat penanggulangan bencana gempa bumi di provinsi Sumatera Barat. Artinya sejak tanggal 31 oktober 2009 yang lalu masa tanggap darurat telah usai. Artinya masa penanganan bencana saat ini adalah tahap recovery dan rekonstruksi.
Masa emergency yang lalu harus menjadi bahan evaluasi untuk penanggulangan bencana saat ini dan yang akan datang, dengan penanggulangan bencana yang menerapkan sistem cluster yang diperkenalkan oleh lembaga asing (international) dengan 10 cluster- pertanian, pemulihan dini, makanan dan nutrisi, telekomunikasi, logistik, pendidikan, hunian, air bersih dan sanitasi, perlindungan dan kesehatan, memang dinilai lebih cepat dan terkoordinasi, meskipun demikian pemulihan bencana seperti ini tidak memandang kearifan lokal sehingga wajar jika menimbulkan efek sosial pada masyarakat yang membutuhkan bantuan.
Kelemahan pemerintah lokal yang membantu masyarakat korban bencana yang terevaluasi pada beberapa lokakarya seperti keterbatasan SDM yang di tugaskan, peralatan yang sangat terbatas, apalagi BPBD Sumatera Barat yang belum terbentuk sehingga sulit menertibkan administrasi dan penguatan lokal dalam penanggulangan bencana.
Demikian pula dikalangan NGO lokal juga memiliki keterbatasan, disamping terhambatnya koordinasi dengan pemerintah juga tidak memiliki sumber pendanaan yang kuat untuk membantu persoalan masyarakatnya secara mandiri sehingga harus memberikan bantuan bermitra dengan lembaga luar dan ini harus menyesuaikan dengan SOP (standar operasional prosedur) mitra kerjanya yang ini mendapat tantangan tersendiri pada masyarakat.
Pemerintah setempat seakan tergiring dengan penanggulangan bencana ala asing yang kadang tidak cocok dengan kearifan lokal bagi masyarakat korban bencana yang sangat butuh bantuan. Keadaan demikian memberikan dampak sosial akan lunturnya semangat pemecahan masalah sendiri, semangat bergotong royong dan semangat kerja keras masyarkat.
Mesti sudah diatur Dalam PP no. 23 th 2008 tentang peran serta lembaga international dan lembaga asing non pemerintah dalam penanggulangan bencana pada Pasal 12 no.1 berbunyi : lembaga internasional atau lembaga asing nonpemerintah dapat berperan serta dalam penanggulangan bencana secara sendiri-sendiri, bersama-sama, dan/atau bersama dengan mitra kerja dari indonesia.
Namun dalam penjelasan umum PP tersebut bahwa Lembaga internasional dan lembaga asing non pemerintah dalam menjalankan perannya di Indonesia juga harus memenuhi standar kualitas minimal yang berlkau secara nasional melibatkan masyarakat korban bencana mulai dari tahap perancanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program tidak membawa dampak negatif bagi kehidupan, kelembagaan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
Dengan demikian dalam masa recovery dan rekonstruksi saat ini dan kedepan perlu kebijakan khusus bagaimana bantuan kedepan berbasis kearifan lokal,
Paling tidak menurut penulis ada dua kebijakan yang harus di tetapkan, pertama, masa recavery ini karena banyaknya bantuan asing dan NGO terlibat dalam bantuan bencana gempa sumbar saat ini jelas tidak memahami lebih dalam bagaimana kearifan lokal masyarakat sumbar, bentuk bantuan langsung pada masyarakat ini perlu pendampingan atau monitoring khusus dari lembaga/instansi lokal yang memahami lebih dalam tentang masyarakat setempat.
Kedua, sebagai salah satu wilayah rawan bencana dari catatan ilmiah, Sumbar mesti memberikan penanggulangan dini dalam menghadapi ancaman ini, bentuk ini mesti dimulai dengan bagaimana menguatkan kapasitas masyarakat lokal yang berada di daerah rawan bencana.
Dengan kedua kebijakan ini menurut penulis masyarakat lokal akan lebih mandiri dalam menyelesaikan masalahnya sendiri dan juga akan mempercepat penanggulangan pada saat bencana terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar